Elyn duduk di pinggir jendela apartemennya, menatap dunia yang tak lagi terasa hidup. Jalanan lengang, meski waktu menunjukkan jam sibuk. Mobil-mobil bergerak, tapi tanpa suara. Orang-orang berjalan seperti diseret oleh keharusan, bukan kehendak. Semua terlihat… kosong.
Sudah tiga belas hari sejak Raka pergi. Tidak pamit. Tidak menjelaskan. Tidak meninggalkan jejak, selain satu kalimat pendek di secarik kertas: “Maaf, aku harus pergi sebelum dunia ini berhenti.” Awalnya Elyn mengira itu metafora. Sekarang ia tak yakin lagi.
Karena dunia benar-benar sedang berhenti.
Tanaman di balkon tak tumbuh, padahal musim semi seharusnya telah datang. Daun-daun kering tak jatuh dari tangkai. Jam dinding di kamarnya sering terlambat beberapa menit, lalu tiba-tiba melompat ke depan, seolah tak bisa menjaga ritmenya sendiri.
Dan yang paling membuat Elyn takut: bayangan di cermin tak pernah bergerak bersamaan dengan tubuhnya. Selalu ada jeda. Seperti ia sedang ditonton dari balik layar tipis, oleh sesuatu yang meniru dirinya.
Ia mencoba bertanya pada orang-orang di sekitar. Tetangganya hanya tersenyum lemah, seperti tidak benar-benar mengerti pertanyaan. Penjual bunga di pojok jalan tetap menjajakan mawar yang sama setiap hari, dengan kelopak yang tak pernah mengering atau mekar. Waktu di sini membeku, tapi tidak indah. Hanya… kehilangan.
Di dalam kepalanya, kenangan tentang Raka terus memutar tanpa henti.
Raka dengan senyum kecil yang selalu datang lebih dulu sebelum tawanya. Raka yang duduk bersila di lantai sambil membaca puisi yang ia tulis sendiri untuk Elyn. Raka yang mencium kening Elyn saat ia terlalu lelah untuk bicara.
Dan Raka yang berkata suatu malam, dengan mata menatap bintang, “Jika dunia ini tak mampu menjagamu, mungkin aku akan membuatkan dunia baru hanya untukmu.”
Elyn tertawa waktu itu. Tapi kini kalimat itu terngiang dengan cara yang berbeda. Apakah ini… dunia itu?
Ia memutuskan keluar apartemen. Langkah-langkahnya menyusuri trotoar yang terlalu bersih. Tidak ada suara anjing menggonggong. Tidak ada anak-anak. Tidak ada udara dingin. Hanya suara sepatunya sendiri dan desahan angin yang terdengar seperti napas seseorang yang sangat letih.
Di tengah kota, ia berhenti di sebuah taman kecil yang biasanya ramai. Bangku-bangku terisi oleh tubuh-tubuh diam yang menatap kosong ke depan, tak berkedip, tak bergeming. Matanya kosong, seolah lupa apa yang harus mereka pikirkan.
Seseorang duduk di ayunan, tapi tali ayunan itu tak bergoyang meski tubuhnya ringan. Di seberangnya, air mancur tak menyembur air, hanya berdiri beku dalam lengkung logam yang tak berfungsi.
Elyn berjalan pelan ke bangku taman yang kosong dan duduk. Ia ingin menangis, tapi bahkan air matanya enggan jatuh. Ia merasa seperti lukisan yang tak selesai, hidup dalam sketsa yang kehilangan warna.
Tiba-tiba, di bawah bangku tempat ia duduk, ada secarik kertas terlipat. Ia ambil pelan-pelan, membuka dengan jemari gemetar. Tulisan tangan yang ia kenal—huruf miring Raka yang sedikit berantakan.
“Aku tahu kau mulai menyadarinya. Dunia ini akan mulai retak jika kau mencari lebih jauh. Tapi kalau kau masih mencintaiku… jangan bangunkan dunia ini. Jangan cari aku.”
Elyn terdiam. Jantungnya berdetak sekali, dua kali, lalu melambat. Ia membaca ulang kalimat itu, seolah huruf-hurufnya bisa berubah. Tapi tidak. Pesannya tetap sama.
“Jangan cari aku.”
Tapi bagaimana mungkin ia tidak mencari?
Ia bangkit dan berjalan pulang, menembus jalanan yang mulai kabur. Gedung-gedung di kejauhan tampak seperti dilukis dengan pensil samar. Beberapa mulai menghilang, menyisakan kabut aneh yang seolah menutupi kebohongan besar.
Di pintu apartemen, ia menemukan jam dinding yang terhenti di pukul 11:11. Semua barang elektronik tak menyala. Namun ada satu suara yang memecah keheningan.
Dentuman pelan. Seperti detak jantung. Tapi bukan dari tubuhnya.
Ia ikuti suara itu ke kamar belakang—ruangan yang dulu digunakan Raka sebagai studio. Di sana, ada layar besar yang menampilkan gambaran dunia: langit, jalanan, rasi bintang, dan… titik merah kecil yang berkedip di tengah.
“Elyn,” kata suara dari layar. Bukan rekaman. Suara itu… hidup.
Ia melangkah maju. Suara itu milik Raka.
“Kau terlalu mencintaiku sampai dunia ini tetap hidup karena itu. Tapi aku… aku pergi karena aku tidak ingin kau mencintaiku sampai kau lupa pada dirimu sendiri.”
Elyn menutup mulutnya. Ia ingin bicara, tapi kata-kata terasa terlalu berat. Ia hanya bisa mendengar.
“Aku menciptakan dunia ini untukmu. Untuk membuatmu tetap merasa aku ada. Tapi ini hanya bayangan. Dan bayangan tidak bisa mencintaimu kembali.”
Layar mulai retak. Seperti kaca yang disiram air panas. Detik demi detik, suara Raka memudar.
“Kalau kau ingin aku kembali… kau tahu apa yang harus kau lakukan…”
Seketika, semuanya gelap.
Elyn berdiri sendiri di tengah ruang putih tak berujung. Dan dalam kegelapan itu, ia mulai paham satu hal: cinta tidak hanya menciptakan dunia. Tapi juga bisa menghancurkannya.
Dan ia akan mencari Raka, walaupun harus menghancurkan segalanya. Termasuk dirinya sendiri.
Hello World