Langit masih basah saat Elyn melangkah ke luar gedung laboratorium. Hujan turun pelan, tak deras, namun cukup untuk menghapus debu dari sepatu lamanya—sepatu yang ia kenakan sebelum semuanya dimulai. Udara terasa asing dan nyata di saat yang sama. Kota yang ia lihat bukan kota yang ia tinggalkan dulu. Tapi bukan juga dunia yang ia temui dalam simulasi.

Ini dunia nyata. Dan ia, akhirnya, kembali sepenuhnya sebagai dirinya sendiri.

Ia berjalan menyusuri trotoar yang sunyi, mengenakan mantel pinjaman, membiarkan rambutnya basah tanpa mengeluh. Di setiap jendela toko yang tertutup, di setiap pantulan genangan air, ia melihat kilasan kenangan—tapi kali ini, mereka tidak memanggilnya untuk tinggal. Mereka hanya lewat. Dan ia membiarkan mereka lewat.

Di taman kota yang pernah ia kunjungi bersama Raka, bangku kayu tempat mereka duduk masih ada. Tapi warnanya sudah memudar. Pohon-pohon yang dulu menaungi mereka kini tumbuh lebih tinggi, seolah ikut menua. Elyn duduk sebentar, bukan untuk mengenang, tapi untuk menyadari.

Ia tidak lagi mencintai masa lalu.

Ia mencintai kenyataan bahwa ia pernah ada di dalamnya, dan kini telah keluar darinya.

Ia membuka buku catatannya yang selalu ia bawa—lembar demi lembar kosong. Dunia di dalam pikirannya telah dibersihkan dari kabut simulasi. Kini, ia menulis ulang dirinya sendiri dari awal. Bukan sebagai seseorang yang ditinggalkan, bukan sebagai seseorang yang kehilangan, tapi sebagai dunia baru yang tak bergantung pada siapa pun untuk hidup.

Beberapa paragraf pertama mengalir dari tangannya:

“Aku bukan lagi dunia yang kau tinggalkan. Aku adalah dunia yang selamat darimu. Aku adalah bukti bahwa cinta tidak selalu menyelamatkan, tapi keberanian untuk kehilangan bisa membangkitkan kembali sesuatu yang lebih besar dari cinta itu sendiri: diriku sendiri.”

Ia berhenti menulis. Menghela napas. Matanya menatap ke depan, bukan ke belakang.

Dan di saat itulah, seseorang lewat.

Raka.

Ia berjalan pelan di trotoar seberang, mengenakan payung, tidak menoleh ke arahnya. Dunia mereka tak lagi terikat. Tapi kehadirannya tidak terasa menyakitkan. Justru menenangkan. Bukti bahwa cinta sejati bisa tetap hidup dalam kenangan tanpa harus dimiliki.

Elyn tersenyum.

Dan ia tahu: ini bukan kebetulan.

Hanya semesta yang ingin memperlihatkan bahwa dunia tak hancur karena perpisahan.

Dunia hanya tumbuh.

Dan kadang, tumbuh berarti melepaskan.

Ia menutup bukunya, berdiri, dan melanjutkan langkahnya ke arah baru—jalan yang belum ia kenal, kota yang belum ia kuasai, kehidupan yang belum ia pahami.

Tapi kali ini, ia berjalan bukan sebagai orang yang mencari. Ia berjalan sebagai orang yang telah menemukan.

Dirinya sendiri.

Dan meski cinta itu telah berlalu, meski dunia yang ia tinggali dulu telah hancur, satu hal tetap ia bawa pulang:

Ia bukan lagi bagian dari dunia orang lain.

Ia adalah dunianya sendiri.

Dan itu… cukup.

TAMAT.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]