Elyn berjalan tanpa tujuan, menembus jalan-jalan yang tak lagi dikenalnya. Gedung-gedung bergeser dari tempat semula, papan penunjuk jalan tertulis dalam bahasa yang asing, dan peta digital di ponselnya hanya menampilkan layar putih kosong bertuliskan: “Data tidak ditemukan.”

Ia seolah berada di kota yang pernah ia kenal tapi telah kehilangan jiwanya. Seperti kenangan samar tentang rumah masa kecil—kau ingat bentuk pintunya, tapi lupa di mana jendelanya.


Langkahnya terhenti di depan sebuah toko buku kecil yang biasa ia kunjungi bersama Raka. Dulu, tempat itu hangat. Rak-raknya padat oleh kisah-kisah yang mengundang petualangan. Sekarang, jendela kacanya buram, dan ketika ia mendorong pintunya, tidak ada lonceng yang berdenting.

Di dalamnya, rak-rak masih berdiri. Tapi buku-bukunya kosong. Setiap halaman putih. Tanpa judul. Tanpa isi. Seolah dunia ini tak lagi punya cerita untuk diceritakan.

Ia membuka satu buku acak. Pada halaman pertama, hanya ada satu kalimat yang tercetak:

Kau terlalu bergantung pada kenangan. Bahkan dunia lelah menulis ulangnya untukmu.

Elyn memejamkan mata. Hatinya berdesir tajam. Dunia ini berbicara, dan setiap sudutnya menyindir dirinya. Ia keluar dari toko, membiarkan pintunya kembali tertutup tanpa suara.

Ia mencoba bertanya pada orang-orang di jalan, tapi tak ada yang menjawab. Mereka berjalan dalam pola aneh—berputar dalam lingkaran kecil, seperti kompas yang kehilangan kutub. Seorang wanita berdiri menatap papan arah yang menunjuk ke segala arah tapi tak memberi jawaban pasti. Ia berbisik lirih berulang kali, “Aku ingin pulang… tapi aku lupa arah ke rumahku.”

Elyn menghampiri, menyentuh bahunya pelan. Tapi wanita itu tak bereaksi. Matanya kosong. Mulutnya tetap mengucapkan kalimat yang sama. Seolah terjebak dalam mantra yang tak bisa dipatahkan.

Kota ini benar-benar kehilangan makna.

Di ujung jalan, ia melihat halte tempat ia biasa menunggu bus bersama Raka. Tapi tak ada kendaraan melintas hari itu. Dan anehnya, papan jadwal hanya menampilkan satu tujuan: Terminal Arah Pulang — Tidak Tersedia.

Ia duduk di bangku halte, menatap kosong ke depan. Dunia ini terasa seperti ilusi yang mulai lelah menjaga penampilannya. Tembok-tembok mulai retak, seolah fondasi kota ini dibangun dari mimpi yang rapuh. Langit di atas mulai berkedip. Bukan metafora—langit benar-benar berkedip, seperti layar yang hampir padam.

Elyn mulai menyadari bahwa dunia ini adalah penjara yang dibuat dari rasa rindunya sendiri. Semua tempat hanya ada karena ia pernah menyimpannya dalam ingatan. Tapi tanpa Raka, semuanya hanya bayangan.


Ia mencoba mengingat detail wajah Raka. Dahinya yang sedikit berkerut saat berpikir. Cara ia menyebut nama Elyn dengan nada seolah melafalkan doa. Tapi semakin keras ia mencoba mengingat, semakin samar gambar itu. Seolah dunia pun mencoba mencuri kembali satu-satunya hal yang membuat Elyn tetap bertahan.

Ia memejamkan mata, dan kali ini… ia mendengar suara.

“Jika kau ingin menemukan arah pulang, jangan cari jalan. Cari kenangan yang belum kau akhiri.”

Suara itu tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam dirinya sendiri. Atau dari sesuatu yang terhubung langsung dengan kesadarannya. Ia membuka mata, dan di seberang jalan, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri.

Anak itu menatap Elyn dengan mata besar dan tenang. Ia mengangguk pelan, lalu berjalan menyusuri gang sempit. Tak berkata apa-apa, hanya isyarat tubuhnya yang mengajak Elyn mengikuti.

Tanpa ragu, Elyn berdiri dan mengikuti anak itu. Mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit yang tak ada dalam ingatannya. Setiap langkah terasa seperti menyusuri lorong-lorong dalam pikirannya sendiri—penuh bayangan dan bisikan.

Anak itu berhenti di depan sebuah rumah kecil. Tua. Tertutup debu. Tapi terasa hangat. Di depan pintu rumah itu, ada sebuah lonceng kecil tergantung. Dan di sebelahnya, tertempel plakat logam: “Tempat Kenangan yang Tak Pernah Ditutup.”

Anak itu menunjuk ke pintu, lalu menghilang begitu saja. Tidak menghilang perlahan. Ia seperti larut ke udara. Seolah ia memang bukan bagian dari dunia, melainkan bagian dari ingatan Elyn sendiri.

Elyn membuka pintu rumah itu. Di dalamnya, tidak ada ruang tamu. Tidak ada meja. Hanya satu ruangan luas berisi ribuan kotak kaca. Masing-masing berisi satu momen: ciuman pertama mereka di bawah hujan, Raka yang membacakan puisi untuknya di malam ulang tahun, pertengkaran mereka yang pertama, tawa di tengah malam saat listrik mati.

Ini adalah museum kenangan. Dan ia adalah satu-satunya pengunjung.

Tapi di tengah ruangan, ada satu kotak kaca yang kosong.

Labelnya berbunyi: “Perpisahan yang Tidak Pernah Terjadi.”


Elyn berjalan ke sana, menyentuh permukaan kacanya. Dan tiba-tiba… ia tersedot masuk.

Ia jatuh, menembus ruang putih yang berputar-putar dalam kabut. Ia tidak tahu berapa lama ia melayang. Tapi ketika ia akhirnya menjejak tanah, ia berdiri di stasiun kereta tua. Tak ada penumpang. Tak ada kereta.

Hanya satu papan bertuliskan: “Raka — Peron Terakhir.”

Dan ia tahu… ini bukan kota lagi. Ini bukan dunia. Ini adalah batas antara dirinya dan Raka. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara berat menggema dari kejauhan:

“Beranikan dirimu. Karena setelah ini, kamu tak bisa kembali.”

Elyn menggenggam dadanya yang berdebar.

Ia belum tahu apa yang menantinya. Tapi satu hal pasti arah pulang bukan menuju tempat, tapi menuju hati yang pernah ia tinggal.

Dan ia siap untuk menemuinya lagi. Walau harus tersesat lebih dalam.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]