Langkah Elyn menggema di peron kosong. Tak ada kereta, tak ada suara selain detak jantungnya sendiri yang terasa lebih keras dari biasanya. Kabut di sekelilingnya mulai menipis, memperlihatkan jalur rel yang memanjang ke arah tak dikenal. Tapi anehnya, rel itu tidak lurus. Ia membelok, melingkar, dan kembali ke tempat yang sama—seperti dunia ini sedang menolak kepergian.

Di salah satu bangku kayu tua, tergeletak sebuah amplop cokelat. Tidak tertutup rapat. Tidak tertempel perangko. Tapi bertuliskan namanya dengan tinta yang mulai luntur.

Untuk: Elyn
Dari: Aku yang Tak Pernah Pergi

Tangan Elyn gemetar saat membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas berwarna kusam. Tulisan tangan Raka, yang tak mungkin ia lupakan. Setiap hurufnya seperti napas yang tertinggal dalam kenangan.

Aku tahu kau akan membaca ini suatu hari.
Mungkin saat dunia mulai pecah, atau saat kamu tak lagi tahu harus percaya pada apa.
Kau pasti bingung, marah, dan merasa ditinggalkan. Tapi percayalah, aku tidak pernah benar-benar pergi.

Semua ini… bukan mimpi. Tapi bukan pula kenyataan. Dunia tempatmu tinggal adalah pantulan dari rasa cintamu padaku. Dan karena itulah aku harus menjauh.

Karena jika aku tetap tinggal… dunia ini tidak akan pernah berubah.

Air mata Elyn jatuh membasahi surat itu. Namun tinta tak luntur. Seolah surat ini memang ditulis untuk dibaca sambil menangis.

Raka melanjutkan:

Kau menciptakan tempat ini tanpa sadar. Saat aku memilih menghilang, kesedihanmu terlalu dalam. Dan entah bagaimana, kesadaranmu memanggil kembali semua kenangan tentang kita lalu menahannya di tempat ini.

Dan aku… aku memilih menjadi bagian dari kenangan itu. Tapi aku juga tahu, jika kau terus tinggal di sini, kau tidak akan pernah tumbuh. Tidak akan pernah benar-benar hidup.

Tapi jika suatu hari kamu memilih untuk mencari—mencari jawabannya, bukan hanya aku—maka kamu harus siap.

Siap kehilangan segalanya.

Itulah satu-satunya jalan agar kita bisa bertemu kembali. Bukan sebagai kenangan, tapi sebagai manusia.

—R

Elyn menurunkan surat itu perlahan. Dunia di sekitarnya mulai berubah lagi. Peron memudar menjadi rerumputan tinggi. Rel berubah menjadi jalan setapak di tengah ladang kosong, dan langit mulai menampilkan rona biru yang belum pernah ia lihat selama dunia ini hampa.

Ia tahu apa artinya semua ini: surat itu adalah pemicu. Kode tersembunyi yang membongkar lapisan baru dari dunia yang sudah lama tertahan. Dunia ini seperti labirin yang dibuat dari ingatannya—dan setiap lapisan hanya bisa dibuka jika ia berani menerima kenyataan yang lebih dalam.

Elyn melangkah ke jalan setapak. Sepanjang sisi jalan, berdiri pohon-pohon tua dengan daun berbentuk seperti huruf. Angin yang berembus membentuk kalimat dalam bisikan halus. Semua terasa seperti dunia yang mencoba bicara, mencoba menyampaikan pesan terakhir sebelum runtuh.

Di ujung jalan, ia melihat rumah tua yang tak pernah ia kenal, tapi terasa sangat familiar. Seperti rumah yang pernah ia mimpikan, bukan yang pernah ia tinggali. Ia membuka pintu rumah itu tanpa ragu.

Di dalam, tidak ada perabot. Hanya satu meja kayu dan cermin besar yang berdiri tegak di sudut ruangan.

Elyn menghampiri cermin itu. Tapi yang ia lihat bukan bayangannya. Bukan juga Raka. Melainkan rekaman kenangan yang bergerak seperti film.

Ia melihat dirinya sendiri—berlari di bawah hujan, tertawa bersama Raka di perbukitan, menangis sendirian di kamar saat Raka menghilang. Semua terekam, terulang, seperti dunia ini sedang mengingatkan padanya bahwa ia pernah merasa segalanya.

Tapi di akhir rekaman, muncul satu gambar yang tak pernah terjadi: Elyn dan Raka berdiri berhadapan di depan tabung kaca besar, dengan kabel dan layar yang berkedip. Seperti semacam mesin. Di situ, Raka menyentuh dahi Elyn, lalu membisikkan sesuatu sebelum menghilang ke dalam cahaya.

Elyn tersentak.

Kenangan itu… bukan kenangan. Itu adalah momen yang tak pernah ia alami di dunia nyata. Tapi mengapa terasa nyata? Mengapa tubuhnya mengingat sesuatu yang tak pernah terjadi?

Ia mendekat ke cermin. Saat tangannya menyentuh permukaannya, cermin itu pecah, tapi bukan menjadi retakan—melainkan berubah menjadi lorong cahaya, seolah mengundangnya masuk.

Suara Raka terdengar lagi, entah dari mana:

“Kalau kamu masih mencintaiku, buktikan bahwa kamu bisa hidup tanpaku. Karena cinta yang terlalu bergantung akan menghancurkan keduanya.”

Elyn menghela napas panjang. Dunia ini bukan tempat berlindung lagi. Ini adalah ruang ujian. Dan ia siap melangkah lebih dalam.

Ia melompat ke dalam lorong cahaya, meninggalkan rumah, ladang, dan langit palsu di belakangnya.

Karena ia tahu, jika cinta ini nyata, maka dunia yang palsu harus dihancurkan terlebih dulu.

Dan ia… akan menemui Raka lagi. Tapi bukan di dunia ini.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]