Lalu, tiba-tiba—semua berhenti.
Ia berdiri di sebuah ruangan putih. Sepi. Kosong. Tanpa dinding, tapi juga tanpa langit. Hanya lantai keras di bawah kakinya dan kabut tipis yang menggantung di udara. Di depannya, satu-satunya benda yang ada: sebuah cermin besar berdiri sendiri di tengah ruangan.
Tapi saat Elyn mendekat dan berdiri di depannya, cermin itu tak menampilkan apa-apa. Bukan bayangannya. Bukan pantulan ruangan. Bukan apa pun.
Kosong.
Seperti melihat ke arah yang tak pernah bisa dikenali.
Elyn menatap lekat-lekat ke permukaan cermin itu, berharap ada satu gerakan kecil—bayangan matanya, kilau rambut, siluet tubuh—tapi tak ada. Ia mulai panik. Menyentuh wajahnya sendiri. Menepuk pipinya. Bahkan berteriak.
Namun suara itu juga tak memantul.
“Apa aku… tidak ada di sini?” bisiknya.
Lalu sebuah kalimat muncul perlahan di permukaan cermin. Tulisannya bukan muncul dari tinta, tapi seperti kabut yang membentuk huruf.
“Kamu telah kehilangan bentukmu sendiri karena terlalu lama menjadi kenangan milik orang lain.”
Elyn mundur selangkah. Dadanya sesak.
“Aku masih Elyn… aku masih Elyn…”
Tapi keraguannya terasa nyata. Dunia ini tak lagi mempercayainya sebagai sesuatu yang utuh. Seolah keberadaannya ditentukan oleh seseorang—oleh Raka.
Mungkin selama ini ia bukan hanya hidup dalam dunia yang diciptakan oleh cinta, tapi juga terbentuk darinya.
Dan ketika cinta itu pergi, dirinya ikut terurai.
Ia memejamkan mata. Mencoba mengingat siapa dirinya, selain sebagai orang yang mencintai Raka.
Ia pernah suka menggambar langit. Ia pernah menang lomba puisi waktu SMA. Ia punya kebiasaan menulis surat untuk dirinya sendiri setiap malam. Ia pernah takut gelap, tapi Raka mengajarinya cara berbicara pada kegelapan, bukan melawannya.
Ia masih Elyn.
Saat ia membuka matanya lagi, cermin itu mulai berubah. Kali ini, bukan memantulkan dirinya. Tapi menunjukkan sebuah ruangan kecil, gelap, dengan lampu berkedip merah.
Di dalam ruangan itu, terlihat tubuh Elyn terbaring dalam tabung kaca. Wajahnya pucat. Matanya tertutup. Kabel-kabel menempel di pelipis dan dadanya. Sebuah layar menampilkan tulisan berkedip: Subjek #07 — Masih Terjebak dalam Simulasi Emosi Tertunda.
Elyn menggigit bibirnya. Itu dirinya. Tapi mengapa ia ada di sana?
Apakah seluruh dunia ini… hanyalah proyek simulasi? Apakah ia hanya sedang tidur? Atau lebih buruk—dipenjara dalam kesadarannya sendiri?
Layar di dalam cermin menampilkan gambar berikutnya: Raka sedang berdiri di depan tabung itu. Tapi bukan Raka yang ia kenal. Rambutnya lebih panjang. Matanya kosong. Bibirnya penuh beban yang tak terucap.
Ia berbicara, tapi suara tak terdengar.
Elyn mencoba membaca gerakan bibirnya.
“Maaf. Aku harus meninggalkanmu untuk membuatmu menemukan dirimu sendiri.”
Layar padam. Cermin retak perlahan.
Elyn menyentuh permukaannya, tapi jari-jarinya menembus kaca. Seperti cermin itu bukan lagi permukaan, tapi pintu.
Di dalam pikirannya, sesuatu berbisik: Jika kau masuk, kau akan tahu semuanya. Tapi kau juga akan kehilangan apa yang pernah kau anggap rumah.
Ia mengingat peron tua. Rumah kenangan. Taman tak bergerak. Semua tempat itu terasa seperti bagian dari dirinya. Tapi bukan dirinya yang utuh.
Selama ini, ia hidup sebagai seseorang yang menunggu. Yang berharap. Yang menggantungkan keberadaan pada orang lain.
Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia ingin memilih.
Bukan sebagai seseorang yang ditinggalkan. Tapi sebagai seseorang yang ingin kembali.
Ia melangkah melewati cermin.
Dan saat ia menyeberang ke sisi lain, sebuah suara terdengar di belakangnya—bukan Raka, bukan dunia, tapi dirinya sendiri.
“Aku adalah dunia yang kau tinggalkan… dan aku siap membangun yang baru.”
Hello World