Elyn terbangun di tengah ruang tunggu yang tak asing namun terasa asing. Ia duduk di bangku besi panjang, dikelilingi oleh dinding putih kusam dan lampu-lampu redup yang berkedip pelan, seolah terminal ini kelelahan menjaga waktu. Udara di dalam ruangan itu lembap dan diam. Tak ada suara pengumuman, tak ada deru mesin, tak ada langkah kaki—hanya keheningan yang terlalu rapi.

Ia menoleh ke sekeliling. Di dinding sebelah kanan, terdapat papan jadwal keberangkatan besar, tapi semua rute tertulis dengan kata yang sama:

Tujuan: Pulang
Status: Tidak Tersedia

Elyn berdiri, langkahnya berat, seperti ditarik oleh gravitasi perasaan yang belum tuntas. Ia mendekati papan itu, menatap setiap baris huruf yang tak berubah. Lalu ia menyadari: semua jam keberangkatan berhenti di waktu yang sama—03:14. Ia memejamkan mata. Ia tak tahu maknanya, tapi jantungnya berdenyut keras saat melihat angka itu.

“Kenapa tidak ada yang datang?” gumamnya lirih.

Terminal ini, seperti dunia lain yang telah ia lewati, seakan ada di ambang kehancuran. Cat mengelupas dari dinding. Kursi-kursi berkarat. Koper-koper tua berdiri sendiri tanpa pemilik. Namun semuanya tampak tetap. Tak berubah. Tak berpindah.

Ia melangkah ke meja informasi di tengah ruangan, berharap menemukan seseorang. Tapi hanya ada satu benda di sana: bel kuno kecil dan sebuah buku catatan lusuh.

Ia menekan bel.

Ting.

Tak ada yang datang.

Lalu buku itu terbuka sendiri. Halaman pertamanya kosong, tapi halaman kedua mulai menulis sendiri dengan tinta hitam tipis:

“Penumpang atas nama Elyn. Tujuan: Kenyataan. Tiket belum tersedia. Harap tunggu di ruang penyesalan.”

Hatinya teriris pelan membaca kalimat itu. Ia tak tahu di mana ruang penyesalan, tapi sepertinya ia telah tinggal di sana cukup lama.

Tiba-tiba, dari kejauhan, langkah kaki terdengar. Pelan, berat, namun pasti. Elyn menoleh. Seorang pria tua muncul dari balik kabut yang tak disadarinya ada. Pria itu mengenakan jas panjang kelabu dan topi bundar. Di dadanya tergantung lencana kecil bertuliskan: Penjaga Dunia.

Pria itu menatap Elyn lama, lalu berbicara dengan suara serak tapi tegas.

“Kau sudah terlalu lama menunggu di dunia yang tak punya arah.”

“Siapa kau?” tanya Elyn.

“Aku hanya penjaga. Tugasku menjaga batas antara keinginan dan kenyataan. Antara kenangan dan kebenaran. Antara orang yang pergi… dan orang yang menolak melepaskan.”

Elyn menelan ludah. Suara pria itu seperti suara masa lalu yang disimpan terlalu lama dalam laci yang tak pernah dibuka.

“Aku ingin pulang,” katanya lirih.

“Pulang ke mana?”

Elyn terdiam. Ia ingin menjawab “ke dunia nyata”, tapi bahkan dunia nyata terasa jauh sekarang. Ia ingin mengatakan “ke Raka”, tapi ia tahu itu bukan jawaban.

“Pulang ke diri sendiri,” bisiknya akhirnya.

Penjaga itu mengangguk pelan. “Jawaban yang berat. Tapi benar.”

Ia berjalan ke belakang meja informasi dan mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam. Ia menyerahkannya pada Elyn. “Ini bukan kunci. Ini pertanyaan terakhir.”

Elyn membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, hanya ada cermin kecil bundar.

Tapi saat ia menatapnya… ia tak melihat apa-apa.

Bukan bayangannya.

Bukan dunia.

Hanya kosong.

“Ini… aku?” bisiknya.

“Bukan. Itu adalah bagian dari dirimu yang hilang sejak kau menolak menerima kepergian. Kepergian bukan akhir dari cinta, tapi akhir dari kepemilikan.”

Elyn menatap cermin itu lama. “Kalau aku ingin Raka kembali… apa aku harus melupakannya dulu?”

“Tidak. Kau harus mengenangnya tanpa menjadikannya alasan untuk berhenti hidup.”

Kata-kata itu mengiris perlahan. Elyn menggenggam cermin itu kuat-kuat, dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, ia merasa seolah tubuhnya mulai kembali memiliki bentuk.

Ia menatap ke arah koridor terminal yang gelap. Pria itu menunjuk ke sana.

“Di ujung sana, ada satu gerbang terakhir. Tapi begitu kau lewat, dunia yang kau kenal akan runtuh.”

“Dan Raka?”

“Jika ia nyata, dia akan menunggu di sisi seberang. Jika ia hanya kenangan, maka kau akan menemuinya dalam dirimu sendiri.”

Elyn mengangguk. Tanpa ragu, ia melangkah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah menarik semua luka yang pernah ia pendam. Tapi juga terasa ringan—karena untuk pertama kalinya, ia memilih bukan untuk bertahan… tapi untuk berpindah.

Di belakangnya, dunia terminal mulai memudar. Papan jadwal hilang. Bangku-bangku runtuh. Langit-langit retak.

Ia berjalan menuju akhir.

Bukan untuk mencari Raka.

Tapi untuk menemukan dirinya sendiri.

Dan di ujung koridor, sebuah pintu berdiri sendirian. Di atasnya tertulis satu kalimat:

“Hanya yang berani kehilangan, yang layak menemukan kembali.”
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]