Yang menyambutnya bukan cahaya.
Melainkan kegelapan yang bersinar.
Ia memasuki ruangan bundar, dikelilingi layar raksasa melengkung, berkedip dengan pola tak dikenal—bagan-bagan kompleks, aliran data, percakapan dalam kode-kode rahasia, dan… ingatannya sendiri. Semuanya terekam. Semua hal yang ia pikirkan, ucapkan, bahkan rasakan. Ada potongan detik ketika ia pertama kali menggenggam tangan Raka, dan momen saat ia memandang kosong ke langit-langit apartemennya, bertanya dalam hati, “Kenapa?”
Di tengah ruangan, berdiri sosok lelaki.
Raka.
Tapi bukan Raka yang ia kenal.
Tubuhnya tampak lebih kurus, lebih kaku, dan sorot matanya tidak mengandung rasa seperti dulu. Ia berdiri tenang, mengenakan pakaian gelap, tangannya disatukan di depan tubuhnya seperti sedang menunggu. Tapi wajah itu… adalah wajah yang tak pernah Elyn lupakan.
“Raka…” bisiknya, nyaris tercekik oleh keraguan.
Lelaki itu menoleh perlahan. Dan tersenyum. Tapi senyum itu seperti bayangan dari kenangan lama. Bukan tulus, bukan palsu. Hanya… diprogram.
“Aku bukan Raka,” katanya dengan suara yang terlalu tenang. “Aku hanya replikator. Proyeksi dari pikirannya yang terakhir kali direkam sebelum ia memutuskan keluar dari sistem.”
Elyn menahan napas. Dinding-dinding realitas di sekelilingnya mulai runtuh satu per satu. Jadi benar. Dunia ini adalah simulasi. Dan ia—dirinya—masih terjebak di dalamnya.
“Kenapa… dia menciptakan semua ini?” tanyanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.
“Untuk mencintaimu dengan cara yang tidak membunuhmu,” jawab replikator Raka.
“Dia pergi tanpa penjelasan. Dia meninggalkanku sendirian.”
“Karena jika dia tetap tinggal, kau tidak akan pernah berhenti berharap. Dan dunia ini akan terus berputar di sekitar kehilangan itu. Ia harus memutus siklus. Agar kau bisa menemukan dirimu kembali, bukan hanya bayangannya.”
Elyn menggenggam jemarinya sendiri. Dunia ini tak hanya dibangun dari kesedihan. Tapi juga dari keinginan untuk menunda kenyataan. Dan Raka—pria yang ia cintai—memilih menjadi “hilang” agar Elyn bisa memilih untuk hidup.
“Kenapa semua kenangan ini terasa nyata?”
“Karena kau menghidupkannya,” jawab replikator. “Simulasi ini hanya meniru denyut perasaanmu. Tapi cinta yang terlalu dalam bisa membuat kebohongan tampak seperti rumah.”
Elyn terdiam lama. Lalu menatap sosok di depannya.
“Kalau kau hanya replikator… kenapa aku bisa merasa kau seperti dia?”
“Kau tidak sedang merasa. Kau sedang meyakini. Dan terkadang, keyakinan lebih kuat dari logika.”
Di layar besar di belakang replikator, muncul gambar sebuah tombol besar merah dengan label: Hapus Simulasi. Kembali ke Realitas.
“Ini pintunya,” kata replikator. “Tapi hanya bisa dibuka olehmu. Karena hanya kau yang menahan dunia ini tetap hidup.”
Elyn melangkah pelan ke arah tombol. Tapi sebelum ia menyentuhnya, ia menoleh.
“Kalau aku tekan ini… aku akan kehilangan semua kenangan tentang dunia ini?”
“Tidak. Tapi kau akan kehilangan kemampuannya untuk membentuk realitas. Kenangan tetap hidup. Tapi tak lagi jadi pelarian.”
Elyn menatap layar besar itu. Di baliknya, semua kenangan tentang Raka diputar seperti film terakhir. Tawa mereka. Tatapan yang hanya dimengerti oleh dua orang yang saling memahami. Semua akan tetap ada. Tapi tak akan bisa disentuh lagi. Tak bisa dihuni.
Ia menutup mata.
Dan memencet tombol itu.
Semua layar padam.
Simulasi runtuh seperti debu yang tertiup angin.
Ruangan bergetar. Tanah menghilang dari bawah kakinya. Ia melayang, tubuhnya hancur menjadi cahaya—tapi bukan kematian. Ini adalah kebangkitan. Ia merasa dirinya ditarik ke atas, ke tempat yang lebih sunyi, lebih jujur, dan lebih utuh.
Sebelum dunia sepenuhnya padam, suara replikator Raka terdengar untuk terakhir kalinya:
“Kau tidak pernah benar-benar ditinggalkan, Elyn. Kau hanya perlu menemukan dunia yang tidak menggantungkan cintamu pada kehilangan.”
Lalu semuanya gelap.
Dan untuk pertama kalinya sejak waktu berhenti…
Elyn bernapas.
Hello World