Semuanya tampak seperti sisa dunia yang pernah ia kenal—terhisap, dihancurkan, dan disusun ulang secara kacau. Ini bukan dunia baru. Ini adalah puing-puing dari dunia yang ia tinggalkan. Dunia yang mencoba bertahan… meski bahan bakarnya—cinta yang tak selesai—telah dimatikan.
Langit di atasnya berkedip perlahan, seperti layar monitor yang sekarat. Satu bagian berwarna ungu redup, yang lain hitam tak berujung. Awan-awan tak bergerak. Burung tak ada. Cahaya seolah datang bukan dari matahari, melainkan dari ingatan yang mulai melemah.
Elyn berdiri. Angin membawa bisikan aneh. Ia menoleh, dan melihat jalan setapak terbuat dari pecahan ingatan: serpihan kursi yang pernah diduduki bersama Raka, fragmen surat yang pernah ia baca, bahkan batu-batu kecil berbentuk kata-kata yang pernah ia ucapkan saat menangis.
Dunia ini sedang menelannya kembali. Menyedot dirinya ke dalam inti. Tanpa bahan bakar cinta, tanpa perlawanan, ia mulai makan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, sebuah pohon di kejauhan merontokkan daunnya secara tiba-tiba, semua dalam satu waktu. Dan pohon itu roboh tanpa suara. Tak ada akar, tak ada tanah. Hanya pangkal kosong—seperti simulasi yang kehilangan instruksi untuk bertahan hidup.
Elyn berjalan menyusuri jalan kenangan yang kini lapuk. Setiap langkahnya membuat dunia bergema, retakan-retakan kecil muncul di udara. Bahkan cahaya mulai membelah seperti kaca pecah. Semua ini… bukan dunia nyata. Tapi juga bukan ilusi.
Ini adalah ruang antara—antara apa yang pernah ada dan apa yang tak pernah terjadi.
Di tengah perjalanan, Elyn menemukan sebuah patung dirinya sendiri. Tapi berbeda. Wajahnya tersenyum, matanya tertutup, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Di dasar patung, tertulis:
“Versi dirimu yang tidak pernah kehilangan.”
Elyn menyentuh patung itu. Dan tiba-tiba, seluruh padang berguncang.
Tanah retak. Langit runtuh. Udara berdesir kencang, seperti dunia menjerit, marah karena disentuh. Dari kejauhan, pusaran besar muncul—mengisap bangunan, puing, bahkan kenangan yang sempat bertahan.
Ia berlari. Tapi semakin ia lari, dunia semakin mempercepat kehancurannya. Seolah setiap langkah Elyn adalah pemantik kehancuran itu sendiri. Ia mulai sadar: dunia ini tidak dibunuh oleh waktu, tapi oleh keputusannya.
Keputusan untuk sembuh.
Sebuah suara muncul, berat dan familiar. Suara dari dalam pikirannya.
“Dunia ini tak ingin kau pergi, Elyn. Ia diciptakan dari kehilangan. Dan kehilangan akan selalu menolak dilepaskan.”
Ia berhenti di ujung tebing yang terbentuk dari pecahan lantai kamar lamanya. Di bawah sana, kehampaan menganga seperti laut tak berbentuk. Semua yang jatuh ke dalamnya menghilang tanpa gema.
Elyn berdiri di tepi, rambutnya ditiup angin yang tak berasal dari mana pun. Di balik pusaran, ia melihat bayangan Raka. Ia berdiri diam di seberang jurang, di atas potongan langit yang melayang.
Mereka saling menatap.
Elyn tahu itu bukan benar-benar Raka. Hanya bayangan terakhir yang tersisa. Tapi kali ini, ia tak lagi merasa ingin memeluknya.
“Maaf,” bisik Elyn, suaranya nyaris tertelan angin. “Aku mencintaimu… tapi aku tak ingin dunia ini bertahan dari rasa sakit itu.”
Bayangan Raka tersenyum. Perlahan, tubuhnya berpendar, lalu memudar. Tak hancur. Tak hilang. Hanya kembali menjadi bagian dari dirinya.
Elyn menutup mata.
Ia membentangkan tangan, dan menjatuhkan dirinya ke dalam kehampaan.
Ia tidak melawan. Tidak menolak. Tidak mempertahankan.
Dan di saat itulah, dunia melepaskannya.
Tak ada rasa sakit. Tak ada air mata.
Hanya keheningan… lalu cahaya hangat.
Ia tak tahu ke mana ia akan jatuh. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak takut kehilangan. Karena ia tahu, yang tak bisa bertahan bukan berarti tak pernah ada.
Ia tak lagi menjadi dunia yang ditinggalkan.
Ia adalah orang yang memilih untuk pulang, meski harus melewati kehancuran.
Hello World