Ia mulai berjalan menyusuri garis itu.
Setiap langkah seperti melewati lapisan waktu. Di sebelahnya, dunia-dunia yang pernah ia tinggali terpantul dalam gelembung tipis: taman yang tak pernah berubah, terminal yang kosong, wajah Raka dalam berbagai versi, senyumnya yang pernah hangat, kemudian matanya yang menjauh.
Semua itu mengambang seperti mimpi buruk yang pernah terasa indah.
Tapi kini, Elyn tak berhenti untuk menyentuhnya. Ia hanya berjalan lurus. Ada sesuatu di ujung jalan ini. Sebuah perasaan yang belum selesai. Bukan cinta. Bukan rindu. Tapi keputusan.
Ia akhirnya tiba di depan pintu yang tak tampak. Tapi ia tahu itu ada. Udara di depannya menekan dadanya, seolah meminta izin untuk dibuka. Pintu itu tidak memiliki pegangan. Ia hanya berdiri di sana, sebagai dinding transparan dari realitas terakhir.
Saat Elyn mengulurkan tangannya, suara samar terdengar dari dalam pikirannya. Bukan suara Raka. Tapi suaranya sendiri—versi terdalam dari dirinya yang telah lama diam:
“Kau akan kembali. Tapi tidak dengan dunia ini. Dan tidak dengan cinta yang sama.”
Ia menelan napas. “Aku siap.”
Pintu itu membuka perlahan, seperti kabut yang terbelah. Dan di baliknya…
Terhampar ruang gelap penuh bintang. Tapi bintang-bintang itu bukan langit. Itu adalah kesadaran. Ribuan kenangan, pikiran, dan dunia yang berputar dalam kapsul cahaya. Dan di tengahnya, satu kapsul besar dengan tubuhnya sendiri terbaring di dalam—di dunia nyata.
Ia berjalan ke sana. Setiap langkah mendekatkan dirinya ke tubuh fisik yang tertidur lama dalam tabung simulasi.
Wajahnya damai. Tapi lelah. Kabel masih menempel di pelipis. Dada naik-turun perlahan. Mesin di sekeliling berdengung nyaris tak terdengar.
Dan tepat di samping tabung itu, berdiri seseorang.
Raka.
Namun kali ini, bukan bayangan. Bukan duplikasi. Bukan replikator.
Raka sungguhan.
Tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat. Matanya letih. Tapi nyata. Ia mengenakan jas laboratorium, dan di tangannya tergenggam tablet dengan grafik denyut kehidupan Elyn.
Saat ia menyadari kehadiran Elyn, ia menoleh—perlahan, ragu. Seolah tak percaya.
“Kau… sadar,” bisiknya.
Elyn menatapnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya. Raka sungguh ada di sini. Setelah semua dunia palsu yang ia lalui, akhirnya ia bertemu dengan versi nyata dari orang yang ia cintai.
“Aku menghentikan simulasi,” kata Elyn pelan. “Aku melepas semuanya.”
Raka menunduk. Matanya berkaca. “Kau tahu kenapa aku menciptakan dunia itu?”
Elyn mengangguk. “Karena kau ingin aku tetap hidup… walau tanpa harus menahan rasa sakit.”
“Dan sekarang?” tanya Raka.
“Aku ingin hidup… dengan semua rasa sakitnya. Termasuk kehilanganmu jika harus.”
Raka tertawa kecil, getir. “Tapi aku tak pernah benar-benar pergi. Aku hanya menunggu… sampai kau siap kembali bukan untuk mencariku, tapi untuk menemukan dirimu.”
Elyn menatap kapsul itu. Matanya mulai terasa berat. Semua rasa lelah dari perjalanan panjang itu tiba-tiba menyerbu tubuhnya.
“Bisa kau bangunkan aku?” tanyanya pelan.
Raka menatapnya. Lalu mengangguk. Ia menekan sesuatu di tablet. Mesin mulai berdengung lebih keras. Lampu indikator menyala hijau. Tabung tempat tubuh Elyn tertidur perlahan terbuka, mengeluarkan kabut dingin.
Tubuh Elyn yang berdiri mulai melebur jadi partikel cahaya, kembali menyatu dengan dirinya yang sesungguhnya.
Dan sesaat sebelum kesadarannya terlempar penuh ke dunia nyata, suara Raka terdengar sekali lagi—nyata, jujur, dan lembut:
“Selamat pulang, Elyn.”
Gelap.
Lalu napas.
Untuk pertama kalinya, Elyn menarik napas sebagai dirinya sendiri.
Bukan bagian dari dunia yang ditinggalkan.
Tapi sebagai jiwa yang baru… yang berani kehilangan segalanya, demi mendapatkan dirinya kembali.
Hello World