Cahaya putih di langit-langit kamar menyambut Elyn dengan pelan. Untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa seperti keabadian, ia membuka matanya—bukan dalam simulasi, bukan di dunia rekaan Raka, tapi di dunia nyata. Dunia tempat rasa sakit tidak bisa dihapus dengan kode, tempat cinta tidak bisa diprogram ulang, dan kehilangan tidak bisa ditunda.

Ia masih terbaring di atas ranjang laboratorium, tubuhnya lemah, paru-parunya berat saat menghirup udara yang penuh kehidupan—udara yang tak bisa dikendalikan oleh mesin.

Tubuh Raka duduk di sebelahnya, masih menggenggam tangannya.

Namun tak ada pelukan.

Tak ada air mata lega yang membuncah seperti akhir film.

Yang ada hanya kesunyian. Kesadaran bahwa mereka telah melewati batas.

Elyn menatap Raka lama, dan akhirnya bertanya dengan suara parau, “Berapa lama aku tertidur?”

“Empat ratus dua belas hari,” jawab Raka, menatap lantai. “Setelah kamu kehilangan kesadaran karena kerusakan emosional, aku… menciptakan simulasi itu dari memorimu. Aku tahu itu tidak etis. Tapi… saat itu aku hanya ingin menyelamatkan bagian dari dirimu yang masih bisa merasa.”

Elyn memejamkan mata. Simulasi itu bukan mimpi—ia telah benar-benar tinggal di dalamnya. Mencintai, menangis, dan kehilangan di dalamnya. Tapi kini, semuanya hanya menjadi kenangan. Tak bisa disalahkan, tak bisa diulang.

“Aku menghidupkanmu dari dunia yang kubunuh sendiri,” gumamnya.

“Tidak,” sahut Raka cepat. “Kau keluar karena memilih. Kau tidak diselamatkan oleh siapa pun. Kau menyelamatkan dirimu sendiri.”

Elyn menoleh ke jendela. Di luar, hujan turun pelan, membentuk garis-garis air di kaca seperti jejak airmata. Tapi kali ini, air itu tidak datang dari duka. Melainkan dari sesuatu yang lebih jujur: penerimaan.

“Kau tahu apa bagian tersulit dari semua itu?” tanya Elyn.

“Apa?”

“Bukan saat aku kehilanganmu. Tapi saat aku sadar aku tak bisa menggenggammu, meski seluruh dunia ada di tanganku.”

Raka tak menjawab. Ia hanya menatapnya, penuh luka yang tak bisa disembuhkan. Ada cinta di sana, tapi juga rasa bersalah yang dalam. Dan antara dua perasaan itu, terbentang batas yang tak bisa diloncati.

“Aku masih mencintaimu, Elyn,” bisiknya.

Elyn mengangguk. “Aku juga.”

Lalu hening lagi.

“Tapi kita tak bisa hidup dari cinta yang dibangun di atas kepalsuan, bukan?” katanya, separuh bertanya, separuh menegaskan.

Raka menutup matanya. Lama. “Tidak. Kita tidak bisa.”

Mereka saling diam. Dan dalam diam itu, mereka tahu bahwa cinta mereka tak pernah salah. Tapi juga tak lagi cukup. Mereka telah saling menyelamatkan, dan dalam proses itu, mereka juga telah saling hancur.

“Aku ingin memulai lagi,” ucap Elyn akhirnya. “Tapi kali ini… bukan untuk kembali. Melainkan untuk benar-benar pergi.”

Raka tersenyum kecil, getir, tapi juga penuh keikhlasan. “Kalau begitu… izinkan aku menjadi dunia yang hanya kamu lewati, bukan yang kamu tinggali.”

Mata Elyn berkaca-kaca. Tapi ia tak menangis. Karena sekarang, ia sudah bisa menerima bahwa mencintai tidak harus memiliki, dan melepaskan tidak selalu berarti melupakan.

Ia bangkit dari tempat tidur dengan bantuan Raka. Kakinyanya masih goyah, tapi langkah pertamanya terasa seperti kelahiran baru. Ia berjalan menuju pintu ruangan, lalu berhenti sejenak.

“Terima kasih telah membiarkanku hidup di dunia yang kau ciptakan… meski akhirnya aku memilih menghancurkannya.”

Raka menatapnya, suaranya nyaris tak terdengar saat menjawab, “Terima kasih telah berani keluar darinya.”

Dan dengan itu, Elyn melangkah keluar.

Meninggalkan ruangan.

Meninggalkan Raka.

Meninggalkan cinta yang terlalu sempurna untuk bertahan di dunia nyata.

Ia melangkah ke dalam hujan.

Dan di bawah langit abu-abu, ia tersenyum.

Karena akhirnya ia tahu:

Beberapa cinta memang tak bisa diselamatkan.

Tapi diri kita… selalu bisa.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]